Wahaiberita - Pria bernama Dwi Hartanto yang disebut sebagai "The Next Habibie", ternyata adalah seorang penipu. Mahasiswa doktoral asal Indonesia yang sedang kuliah di Universitas Teknik Delft, Belanda, akhirnya mengakhiri kebohongannya terkait berbagai prestasi gemilang yang pernah ia klaim. Pria ini ternyata menciptakan beberapa kebohongan terkait prestasinya.
Kedutaan Besar RI di Den Haag, Belanda, mencabut penghargaan yang diberikan kepada ilmuwan Indonesia, Dwi Hartanto. Pria berusia 35 tahun itu sempat “diakui” kontribusinya dalam bidang teknologi penerbangan antariksa. Sebelumnya, Dwi pernah mengaku punya paten teknologi Lethal weapon in the sky, mengembangkan pesawat tempur EuroTyphoon di Airbus Space and Defence sehingga menjadi EuroTyphoon NG.
Dwi disebut-sebut sebagai otak di balik teknologi pesawat tempur generasi keenam, ahli teknologi satelit dan pengembangan roket. Atas berbagai kontribusi dan paten tersebut, Dwi sempat diberitakan sebagai “The Next Habibie.”
Sosok Dwi Hartanto, tengah menjadi sorotan setelah skandal kebohongannya terkuak ke publik. Ilmuwan yang tengah menempuh pendidikan di negeri kincir angin itu sebelumnya mengklaim sebagai kandidat profesor di Technische Universitet (TU) Delft, Belanda, serta diminta untuk mengembangkan pesawat jet tempur generasi ke enam.
Namun belakangan borok mahasiswa doktoral TU Delft, Belanda itu terbongkar, informasi yang selama ini dia sampaikan di media sosial dan media massa tentang dirinya adalah klaim semata dan mengakui kebohongan tersebut.
Untuk itu KBRI Den Haag mencabut penghargaan yang diberikan kepada Dwi pada HUT RI ke-72 melalui Surat Keputusan NOMOR SK/023/KEPPRI/VIII/2017 yang sempat dikeluarkan pada 15 September 2017.
Aksi tipu-tipu dilakukan Dwi Hartanto sebetulnya telah diketahui lama oleh rekannya sesama warga Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda. Bahkan, teman-temannya telah mengingatkan Dwi untuk menghentikan aksi kehohongannya.
"Teman-teman DH yang mengetahui latar belakangnya sudah tahu lama. Hanya mereka tidak bisa speak up. Perlu courage," kata Deden Rukmana, anggota Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4).
Menurut Deden, amarah kolega terhadap Dwi Hartanto memuncak hingga memberikan informasi mengenai sepak terjang pria yang sempat dijuluki sempat dijuluki sebagai The Next BJ Habibie kepada anggota grup I-4 yang tergabung dalam grup aplikasi WhatApss. Informasi mengenai kebohongan Dwi kemudian ditelusuri anggota I-4 dengan membentuk tim dengan Deden salah satu anggotanya.
"Rasa kebanggaan dan kekaguman saya terhadap Dwi Hartanto 'terganggu' ketika saya menerima rangkaian pesan dari WA group Pengurus I-4 yang membahas tentang yang bersangkutan. Pada tanggal 10 September 2017 lalu, salah seorang anggota pengurus I-4 secara terpisah mengirimkan dua dokumen lengkap berisikan investigasi terhadap beragam klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto," tulis Deden dalam akun Facebook-nya.
Melalui klarifikasi dan permohonan maaf yang diunggah di situs Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Delft, Dwimemberikan klarifikasi soal sejumlah klaimnya.
Ia mengatakan, ia bukan lulusan Tokyo University, tetapi Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta dengan Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri.
Dwi sempat mengaku sebagai post-doctoral Asisten Profesor di Technische Universiteit (TU) Delft dalam bidang aerospace. Ia mengatakan, penelitiannya adalah tentang teknologi satelit dan pengembangan roket.
Nyatanya, Dwi merupakan mahasiswa doctoral di TU Delft. Topik penelitian Dwi sesungguhnya dalam bidang intelligent systems, khususnya virtual reality sebagai disertasinya.
Dalam pengakuannya, Dwi juga mengaku bahwa dirinya bukanlah perancang Satellite Launch Vehicle. Ia juga tidak pernah membuat roket bernama TARAV7s (The Apogee Ranger versi 7s).
“Yang benar adalah bahwa saya pernah menjadi anggota dari sebuah tim beranggotakan mahasiswa yang merancang salah satu subsistem embedded flight computer untuk roket Cansat V7s milik DARE (Delf Aerospace Rocker Engineering), yang merupakan bagian dari kegiatan roket mahasiswa di TU Delft),” kata Dwi melalui pernyataan tertulis, Minggu (8/10/2017).
Proyek itu tidaklah datang dari Kementerian Pertahanan Belanda, Pusat Kedirgantaraan dan Antariksa Belanda (NLR), Airbus Defence atau Dutch Space, melainkan hanya proyek roket amatir mahasiswa.
NLR dan lembaga lain berperan sebagai sponsor terkait dana riset dan bimbingan.
Pemabahasan roket itu juga dikemukakan dalam program televisi Mata Najwa. Saat itu, Dwi mengatakan proyek roket strategisnya digunakan pada Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Dwi menuturkan perannya sebagai technical director.
“Peranan teknis saya saat itu adalah pada pengembangan flight control module dari roket tersebut. Dengan demikian bahwa saya satu-satunya orang non-Eropa yang masuk dalam ring 1 teknologi ESA (European Space Agency) adalah tidak benar,” kata Dwi.
Kebohongan Dwi lainnya adalah saat ia mengaku sebagai pemenang lomba riset teknologi antar lembaga penerbangan dan antariksa dari seluruh dunia di Cologne, Jerman. Bila benar, ia berhasil mengalahkan para peneliti dari NASA (Amerika), ESA (Eropa), dan JAXA (Jepang) dan beberapa lembaga lainnya.
Dwi menuturkan bahwa dirinya juara dalam bidang riset Spacecraft Technology. Ia membuat riset berjudul “Lethal Weapon in the Sky”. Dari riset ini ia juga membuat paten bersama timnya.
Kenyataannya, Dwi tak pernah mengikuti lomba tersebut. Dwi justru memanipulasi template cek hadiah, menuliskan namanya, membubuhkan nominal hadiah sebesar 15.000 euro. Lalu, ia berfoto dengan cek tersebut dan mengunggahnya ke media sosial.
Foto itu sebetulnya diambil di gedung Space Businees Inovation Center di Noordjijk, Belanda, saat Dwi mengikuti hackathon Space Apps Challenge. Dalam lomba itu, Dwi dan timnya juga tidak berhasil naik podium.
“Foto itu saya publikasikan melalui media sosial saya dengan cerita klaim kemenangan saya. Teknologi ‘Lethal weapon in the sky’ dan klaim paten tidak benar dan tidak pernah ada. Informasi saya dan tim sedang mengembangkan pesawat tempur generasi ke-6 tidaklah benar. Informasi bahwa saya dan tim dimininta untuk mengembangkan EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG adalah tidak benar,” kata Dwi.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Dwi disebut dihubungi oleh protokoler B.J Habibie. Pertemuan antara Habibie dan Dwi berlangsung di salah satu restoran di Den Haag pada awal Desember 2016. Pertemuan itu justru tidak pernah terjadi. Dwi memang pernah meminta kepada Kedutaan Besar RI di Den Haag untuk bertemu dengan Habibie.
“Tidak benar bahwa program master (S2) saya dibiayai oleh pemerintah Belanda. Kuliah S2 saya di TU Delft dibiayai oleh beasiswa yang dikeluarkan oleh Depkominfo. Tidak benar bahwa Belanda menawarkan saya untuk mengganti kewarganegaraan,” kata Dwi.
Dwi memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan kebohongannya. Melalui Facebook, ia mengungagah persiapan dan peluncuran TARAV7s yang tak pernah ada. Postingan sejak 9 Juni 2015 sebetulnya adalah persiapan roket DARE Cansat V7 yang menjadi kegiatan ekstrakulikuler mahasiswa.
Pada 3 Februari 2017, Dwi mengabarkan tengah mengerjakan proyek satelit pesanan Airbus (AirSat-ABX). 24 Februari ia kembali mengunggah telah diwawancara oleh TV Nasional Belanda NOS terkait Spacecraft technology. Lalu, 15 Juni 2017 ia memposting id card sebagai Direktur Teknik ESA.
“Saya tidak pernah menempuh studi maupun memiliki gelar akademik berkaitan dengan kedirgantaraan (Aerospace Engineering). Riset saya saat Master di TU Delft memang beririsan dengan sebuah sistem satelit, tapi lebih pada bagian telemetrinya,” kata Dwi.
Saat ini, TU Delft tengah melakukan sidang kode etik sejak 25 September 2017.
Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) menilai skandal informasi prestasi akademis Dwi Hartanto, yang ternyata abal-abal, merupakan contoh masih buruknya integritas di lingkungan akademis Indonesia.